“Kapitalisme
dan Konstruksi Sosial Masyarakat”
Postulat yang pertama-tama harus dijadikan sebagai dasar analisis
tindakan sosial manusia adalah bahwa “manusia pada dasarnya mengejar
kebahagiaan”. Ini artinya bahwa segala sesuatu yang dilakukan dan diusahakan
oleh manusia pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk mewujudkan kebahagiaan.
Setiap orang mempunyai konsep ideal kebahagiannya masing-masing yang mungkin
berbeda satu sama lainnya. Perbedaan konsep kebahagiaan antar individu ini
dalam psikologi disebut sebagai subjective well being. Kebahagiaan itu
bersifat subjektif dimana setiap orang menetapkan kriteria tertentu yang
dijadikan sebagai indikator kebahagiaan yang paling ideal menurutnya. Konsep
ideal kebahagiaan individu yang subjektif ini dipengaruhi oleh situasi dan
proses sosial yang dialami oleh individu yang bersangkutan. Misalnya, orang
yang dilahirkan dan dibesarkan dalam kondisi peperangan akan sangat mungkin
menetapkan “kedamaian” sebagai indikator utama kebahagiaannya.
Kebahagiaan secara objektif adalah kepuasaan atas pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan yang melekat pada diri manusia.
Seseorang dapat dikatakan bahagia apabila ia merasa puas terhadap segala bentuk
pemenuhan kebutuhan dan keinginan yang diupayakannya. Kebutuhan adalah segala
sesuatu yang apabila tidak dipenuhi akan mengganggu kelangsungan hidup.
Sementara keinginan adalah hasrat, kehendak, dan harapan manusia terhadap
sesuatu. Apabila keinginan tidak terpenuhi, tidak akan mengganggu kelangsungan
hidup dari individu yang bersangkutan. Perbedaan utama antara kebutuhan dan
keinginan adalah dari sifatnya, dimana kebutuhan bersifat memaksa sementara
keinginan bersifat sukarela (atas kehendak sendiri).
Kebutuhan dan keinginan manusia berdasarkan bentuknya terbagi
kedalam dua jenis, yaitu: alamiah dan manipulatif. Kebutuhan dan keinginan
alamiah merupakan konsekuensi murni yang muncul karena adanya eksistensi dari
individu yang bersangkutan, misalnya seperti makan, minum, berteman dan
lain-lain. Sementara itu kebutuhan dan keinginan manipulatif adalah konsekuensi
buatan yang konstruk secara sosial dalam masyarakat, misalnya seperti sekolah,
menonton film, dan lain-lain. Setelah kita mengetahui perbedaan kedua jenis
kebutuhan dan keinginan tersebut, maka kita dapat memahami bahwa sebagian dari
tindakan manusia pada dasarnya merupakan hasil rekayasa dari aktor-aktor
kreatif yang ‘berkepentingan’.
Salah satu bentuk aktor sosial kreatif dalam masyarakat adalah
kapitalis, mereka memanipulasi masyarakat secara sosial untuk mendapatkan
keuntungan finansial. Bagi kapitalis, keuntungan merupakan acuan dasar dalam mengkonstruksikan
masyarakat. Para kapitalis mengkostruksikan gaya hidup yang konsumtif. Mereka
mengkonstruksikan masyarakat secara sosial untuk menginginkan produk (barang
dan jasa) yang dihasilkannya. Pada tingkat yang lebih dalam, keinginan tersebut
dapat bertransformasi menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Kapitalis
menjadikan berbagai sektor sosial dalam masyarakat sebagai ladang-ladang
penghasil kapital. Mereka memanfaatkan segala bentuk permasalahan yang kita
dihadapi sehari-hari sebagai pengasil pundi-pundi rupiah.
Pada dasarnya, rekayasa sosial yang dilakukan kapitalis adalah
dengan mengubah permasalahan menjadi sebuah keuntungan. Masalah adalah langkah
awal yang dijadikan kapitalis untuk mendapatkan perhatian publik. Kapitalis
menyulap masalah yang sebenarnya kecil menjadi terlihat seperti besar. Jebakan
pertama yang dibuat kapitalis adalah dengan membesar-besarkan masalah yang
sebenarnya ‘kecil’ menjadi seolah-olah bersar. Ketika perhatian publik sudah
tertuju pada permasalahan yang ia besar-besarkan tersebut, maka saat itulah ia
mendapatkan peluang untuk memperoleh keuntungan dari permasalahan tersebut.
Kapitalis menghadirkan solusi sebagai jawaban atas persoalan yang ia angkat ke
permukaan publik. Solusi ini tentunya berupa komoditas, yaitu segala sesuatu
yang dapat diperjualbelikan sehingga menghasilkan keuntungan.
Tahap selanjutnya adalah dengan mengkonstruksikan ‘solusi’ tersebut
sebagai keinginan publik. Ketika para konsumen mencapai tahap ketergantungan
atas pemenuhan keinginan-keinginan yang dibuat kapitalis, maka keinginan
tersebut akan bertransfomasi menjadi sebuah kebutuhan. Proses konstruksi dalam
skala besar yang masif akan menghasilkan efek domino yang dapat melipat
gandakan keuntungan. Para kapitalis sepenuhnya menyadari bahwa imitasi
merupakan salah satu mekanisme sosialisasi dalam masyarakat. Mereka
menghadirkan figur-figur yang idolakan oleh publik dalam iklan-iklan dan
film-film untuk mengangkat permasalahan dan mendapatkan perhatian publik.
Ketika seseorang menyukai tokoh yang diidolakannya, maka akan timbul
kecenderungan untuk meniru (imitasi) tokoh idolanya, baik berupa gaya hidup,
perilaku ataupun penampilannya. Misalnya, produk-produk korea yang mulai
membanjiri pasar internasional termasuk Indonesia setelah budaya K-Pop buming
dimana banyak orang mulai berkecenderungan untuk meniru pola perilaku,
penampilan dan gaya hidup artis-artis korea yang ada dalam iklan-iklan, film-film
dan sinetron.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa kapitalis merupakan
aktor kreatif yang mengkostruksikan struktur sosial masyarakat yang konsumtif
untuk kepentingannya.